PROPOSAL PENELITIAN
DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL
Proposal penelitian yang disusun
untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum
Oleh Achmad Feriyandi Adam
Nomor Induk 205110128
Jurusan Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara
Jakarta
2012
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat-Nyalah saya mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Adapun penyusunan makalah ini melalui
proses yang cukup lama, yaitu sekitar 2 minggu berturut-turut dimulai sejak
tanggal 12 November 2012.
Proposal penelitian tentang “Hubungan Sosiologi Hukum
Dalam Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta ” ini disusun
dengan tujuan untuk melengkapi persyaratan mengikuti ujian akhir semester (UAS)
dan diharapkan melalui proposal penelitian ini, saya selaku penulis dapat lebih
memahami kaidah bahasa Indonesia dan mampu menerapkan metode penulisan karya
ilmiah dengan konsisten.
Saya mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang
telah membantu saya dalam proses penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dosen
Sosiologi Hukum yang bersedia membimbing
dan mengarahkan saya dalam penyusunan makalah ini.
Semoga penyusunan makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi penulis yang lain.
Jakarta, 26 November 2012
Achmad Feriyandi Adam
I.
Masalah
dan latar belakangnya
A. Masalah ialah
sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. Masalah muncul
pada tempat dan waktu tertentu.
Meningkatnya tekanan
ekonomi global, tempat yang kurang layak untuk dijadikan lahan bertani karena
sulitnya sumber air, munculnya rasa pesimistis dan depresi terhadap masalah
kehidupan, kurangnya keyakinan terhadap tuhan, kurangnya pendidikan, lemahnya
tingkat berfikir masyarakat, rendahnya tingkat kesadaran diri, timbulah putus
asa dan penyesalan, makin meningkatnya angka bunuh diri.
B. Latar belakang masalah merupakan suatu uraian singkat yang
menunjukkan alasan mengapa masalah tersebut perlu diriset dengan menggunakan
judul tertentu. Alasan yang utama tentu saja menyebutkan suatu akibat yang akan
timbul seandainya masalah tersebut tidak diteliti dan segera dipecahkan. Juga
perlu disebutkan manfaat hasil riset itu.
Meningkatnya angka
bunuh diri di Gunung Kidul kalau tidak segera diriset untuk diketahui faktor
penyebabnya, akibatnya akan membuat masyarakat yang berada disana akan merasa
resah, wibawa pejabat negara negara di mata masyarakat rendah karena pejabat
negara kurang dalam memberikan bantuan pendidikan dan ekonomi untuk masyarakat
setempat, sehingga masyarakat tingkat berfikirnya rendah dan mengalami
kesulitan ekonomi.
II.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Masalah ialah sesuatu
yag terjadi tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. Sesuatu bisa terjadi,
pasti ada faktor penyebabnya. Kejadian yang tidak diinginkan bisa dinyatakan
sebagai perubahan nilai variable dan variable ini disebut variable tidak bebas
(dependent variable), katakan variable Y.
Suatu kejadian bisa
berubah, pasti ada faktor penyebabnya. Faktor ini disebut variable bebas
(independent variables). Katakanlah variable X. Faktor penyebab harus
diidentifikasi dan kemungkinan faktor penyebab tersebut banyak sekali. Jadi,
dalam hal ini masalah merupakan hubungan antara variable bebas dan tidak bebas.
Masalah ini merupakan masalah penelitian (research problem).
Y = jumlah pelaku bunuh diri yang semakin
meningkat
X1 = rendahnya tingkat
logika berfikir masyarakat
X2 = rendahnya
pendidikan masyarakat
X3 = rendahnya tingkat
kesadaran
X4 = sulitnya air
X5 = meningkatnya
tekanan ekonomi global
X6 = meningkatnya biaya
hidup
X7 = rendahnya moral
(tingkat ketaatan agama rendah)
X8 = kurangnya
perhatian dari pemerintah
X9 = jarangnya lapangan
pekerjaan
X10 = jumlah problem
atau masalah yang meningkat
III.
Pembatasan
masalah
Mempertimbangkan
keterbatasan sarana, prasarana, waktu, biaya, dan tenaga serta tidak
tersedianya data dan teori yang mendukung maka tidak semua masalah (faktor
penyebab) diteliti. Perlu adanya pembatasan masalah. Berdasarkan pembatasan
masalah ini kemudian bisa dirumuskan masalahnya dan sekaligus ditentukan judul
penelitiannya.
Perumusan
masalah seyogyanya dinyatakan dalam kalimat tanya (Tuckman, 1988) dan perumusan
masalah yang baik adalah yang menyatakan hubungan antara satu atau lebih
variable bebas dengan variable tidak bebas dalam bentuk kalimat tanya, yaitu:
bagaimana pengaruh tingkat kesadaran hukum, ketaatan agama anggota masyarakat
dan jumlah problem atau masalah terhadap pelaku bunuh diri? Atau dapat dibuat
dalam kalimat, peneliti merumuskan masalah ini untuk mengetahui apakah ada
pengaruh tingkat kesadaran hukum, ketaatan agama anggota masyarakat dan jumlah
problem atau masalah terhadap pelaku bunuh diri?
IV.
PEMILIHAN
JUDUL
Penentuan
judul sebaiknya setelah dibuat pembatasan masalah (jumlah variabelnya sudah
dibatasi), maka judul sudah spesifik, menjadi khusus, tidak umum lagi.
Hubungan
Sosiologi Hukum Dalam Kasus Bunuh Diri Di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta.
Jangan menggunakan judul: Upaya Meningkatkan Kesadaran Hukum untuk Menurunkan
Jumlah Pelaku Bunuh Diri. Perlu diperhatikan judul penelitian harus netral,
sebab penelitian ialah upaya untuk mengungkapkan sesuatu seperti apa adanya (as
it is), bersifat objektif. Hindari kata-kata: usaha meningkatkan, memperbesar,
memperkecil, menurunkan, menstabilkan, melancarkan, mempercepat. Kata-kata ini
tepat digunakan sebagai tindak lanjut suatu hasil penelitian.
V.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan
penelitian ialah penelitian berkenaan dengan maksud peneliti melakukan
penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul.
Rumusan
masalah: Bagaimana pengaruh kenaikan tingkat kesadaran hukum terhadap jumlah
bunuh diri, maka tujuan penelitian untuk mengetahui berapa kenaikan jumlah
bunuh diri kalau kenaikan tingkat kesadaran naik satu tingkat berdasarkan skala
Likert atau berapa besar pengaruh tingkat kesadaran hukum terhadap bunuh diri.
VI.
MANFAAT
/ KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
1. Untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai tujuan teoritis.
o
Memperluas pengetahuan penulis dalam
masalah bunuh diri di Gunung Kidul khususnya pengeruhnya bagi masyarakat
Indonesia
o
Menjadi referensi untuk
penelitian-penelitian berikutnya yang relevan
2. Untuk
dasar pengambilan keputusan dalam upaya memecahkan masalah yang timbul sebagai
tujuan praktis.
Ø Memberikan
referensi bagi pembaca yang membaca proposal penelitian ini.
3. Untuk
meramalkan terjadinya suatu kejadian sehingga bisa dihindari terjadinya
kejadian yang tidak diinginkan atau untuk dapat membuat perencanaan lebih baik.
VII.
LANDASAN
TEORI
Teori
merupakan alur penalaran atau logika terdiri dari seperangkat konsep atau
variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.
Dalam
studinya Le Suicide durkheim bermaksud untuk menyelidiki sampai sejauh mana dan
bagaimana individu-individu dalam masyarakat modern masih tergantung dan berada
di bawah pengaruh masyarakat. Dalam studi ini Durkheim merumuskan beberapa
jenis bunuh diri, yaitu:
1.
Egoistik
Egoisme merupakan sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan kelompoknya dan memilih untuk menyendiri dari kehidupan sekitar yang berinteraksi dengan dirinya, kelompok disini merupakan tempat untuk berhubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, terdiri dari keluarga, teman-teman yang dekat, dan masyarakat luas. Biasanya tipe bunuh diri semacam ini didasari oleh sikap yang tidak terbuka kepada orang lain, sehingga akan menyebabkan perasaan terasing dari masyarakat dan akan menyebabkan orang tersebut untuk memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan maupun bantuan dari orang lain ataupun masyarakat. Dalam kehidupannya pasti ia tidak memiliki tujuan tujuan bersama dalam kehidupan kelompoknya selain kepentingannya sendiri, sehingga ia akan merasa tersudut yang disebabkan oleh egoisme yang berlebihan dan akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri. Dari beberapa hal tersebut dapat di analisis bahwa kondisi integrasi antara pelaku bunuh diri tersebut dengan kelompoknya dapat dikatakan rendah. Misalnya : siswa yang bunuh diri karena tidak lulus sekolah.
Egoisme merupakan sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan kelompoknya dan memilih untuk menyendiri dari kehidupan sekitar yang berinteraksi dengan dirinya, kelompok disini merupakan tempat untuk berhubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, terdiri dari keluarga, teman-teman yang dekat, dan masyarakat luas. Biasanya tipe bunuh diri semacam ini didasari oleh sikap yang tidak terbuka kepada orang lain, sehingga akan menyebabkan perasaan terasing dari masyarakat dan akan menyebabkan orang tersebut untuk memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan maupun bantuan dari orang lain ataupun masyarakat. Dalam kehidupannya pasti ia tidak memiliki tujuan tujuan bersama dalam kehidupan kelompoknya selain kepentingannya sendiri, sehingga ia akan merasa tersudut yang disebabkan oleh egoisme yang berlebihan dan akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri. Dari beberapa hal tersebut dapat di analisis bahwa kondisi integrasi antara pelaku bunuh diri tersebut dengan kelompoknya dapat dikatakan rendah. Misalnya : siswa yang bunuh diri karena tidak lulus sekolah.
2.
Altruistik
Apabila bunuh diri egoistik disebabkan oleh kurangnya integrasi dengan kelompoknya, sementara bunuh diri altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Pengintegrasian antara individu yang satu dan lainnya berjalan secara lancar sehingga menimbulkan masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat. Apabila kelompoknya menuntut bahwa mereka harus mengorbankan diri mereka, maka mereka tidak mempunyai jalan lain selain melakukannya karena mereka telah menjadi satu dengan kelompok mereka. Sehingga integrasi yang kuat tersebut akan menekan individualisme anggota kelompoknya ketitik dimana individu dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Misalnya : perjuanagan pahlawan Indonesia dalam meraih kemerdekanaan Indonesia.
Apabila bunuh diri egoistik disebabkan oleh kurangnya integrasi dengan kelompoknya, sementara bunuh diri altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Pengintegrasian antara individu yang satu dan lainnya berjalan secara lancar sehingga menimbulkan masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat. Apabila kelompoknya menuntut bahwa mereka harus mengorbankan diri mereka, maka mereka tidak mempunyai jalan lain selain melakukannya karena mereka telah menjadi satu dengan kelompok mereka. Sehingga integrasi yang kuat tersebut akan menekan individualisme anggota kelompoknya ketitik dimana individu dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Misalnya : perjuanagan pahlawan Indonesia dalam meraih kemerdekanaan Indonesia.
3.
Anomik
Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang semula memberi motivasi dan arah kepada perilakunya tidak berpengaruh lagi. Keadaan moral dimana orang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya sehingga akan menimbulkan kebimbangan pada diri seseorang. Keadaan anomi ini bisa melanda seluruh masyarakat ketika terjadi perubahan pada masyarakat tersebut secara cepat, tetapi di lain pihak masyarakat tersebut belum bisa mererima perubahan tersebut dikarenakan nilai-nilai lama pada masyarakat tersebut belum begitu mereka pahami sementara nilai-nilai yang baru belum jelas.
Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang semula memberi motivasi dan arah kepada perilakunya tidak berpengaruh lagi. Keadaan moral dimana orang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya sehingga akan menimbulkan kebimbangan pada diri seseorang. Keadaan anomi ini bisa melanda seluruh masyarakat ketika terjadi perubahan pada masyarakat tersebut secara cepat, tetapi di lain pihak masyarakat tersebut belum bisa mererima perubahan tersebut dikarenakan nilai-nilai lama pada masyarakat tersebut belum begitu mereka pahami sementara nilai-nilai yang baru belum jelas.
4.
Fatalistik
Tipe bunuh diri ini tidak terlalu banyak dibahas oleh Dukheim. Kalau bunuh diri anomik terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, namun sebaliknya bunuh diri fatalistik ini terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok tertekan oleh nilai dan norma tersebut. Dukheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistik seperti seseorang yang masa depanya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh nilai dan norma yang menindas.
Tipe bunuh diri ini tidak terlalu banyak dibahas oleh Dukheim. Kalau bunuh diri anomik terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, namun sebaliknya bunuh diri fatalistik ini terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok tertekan oleh nilai dan norma tersebut. Dukheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistik seperti seseorang yang masa depanya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh nilai dan norma yang menindas.
VIII.
Analisis
Data, hasil analisis data dan kesimpulan
Gunung Kidul yang meliputi
pegunungan Seribu di sebelah selatan, cekungan Wonosari di tengah dan
pegunungan batu Agung di sebelah utara merupakan wilayah yang terletak di
selatan kota Yogyakarta, suatu wilayah yang didominasi oleh pegunungan kapur (karst),
dengan tanah yang terjal berbatu-batu. Dengan karakter tanah yang demikian
maka cocok tanam masyarakat sangat tergantung pada daur iklim khususnya curah
hujan, sehingga sebagian besar adalah sawah tadah hujan dan merupakan tanah
yang kering serta akan kesulitan air pada musim kemarau.
Ada beberapa peristiwa penting di daerah Gunung kidul yang selalu dikaitkan dengan fenomena mistik. Salah satunya adalah kasus bunuh diri. Masyarakatnya mengenal dengan apa yang disebut "pulung gantung". Secara sederhana dapat kita gambarkan fenomena tersebut (pulung gantung) adalah sebagai bola api dengan ekor panjang yang berkelebat datang dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu tetapi sering juga hinggap di atap rumah, di atas pohon atau terbang diam di ketinggian tertentu dalam waktu yang relatif lama.
Menurut beberapa orang yang pernah menjumpainya, hadirnya pulung gantung berkisar sehabis Maghrib pukul 18.00-20.00) atau menjelang subuh (02.00-04.00).
Masalah bunuh diri di Gunungkidul tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Kejadian demi kejadian yang berurutan telah terjadi sejak sekian puluh tahun yang lampau. Setiap kali terjadi, masyarakat sekitar membicarakannya, terkadang dengan serius, seringkali juga dengan entengnya, sepertinya kejadian tersebut merupakan suatu peristiwa yang sudah sering terjadi dan menjadi lumrah untuk dibicarakan.
Dalam kosa kata kebudayaan Jawa, Istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu”. Dengan definisi, “pulung” atau “wahyu” di sini berarti “isyarat bahwa Tuhan atau (kadang) leluhur memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”. Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”.
Ada beberapa peristiwa penting di daerah Gunung kidul yang selalu dikaitkan dengan fenomena mistik. Salah satunya adalah kasus bunuh diri. Masyarakatnya mengenal dengan apa yang disebut "pulung gantung". Secara sederhana dapat kita gambarkan fenomena tersebut (pulung gantung) adalah sebagai bola api dengan ekor panjang yang berkelebat datang dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu tetapi sering juga hinggap di atap rumah, di atas pohon atau terbang diam di ketinggian tertentu dalam waktu yang relatif lama.
Menurut beberapa orang yang pernah menjumpainya, hadirnya pulung gantung berkisar sehabis Maghrib pukul 18.00-20.00) atau menjelang subuh (02.00-04.00).
Masalah bunuh diri di Gunungkidul tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Kejadian demi kejadian yang berurutan telah terjadi sejak sekian puluh tahun yang lampau. Setiap kali terjadi, masyarakat sekitar membicarakannya, terkadang dengan serius, seringkali juga dengan entengnya, sepertinya kejadian tersebut merupakan suatu peristiwa yang sudah sering terjadi dan menjadi lumrah untuk dibicarakan.
Dalam kosa kata kebudayaan Jawa, Istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu”. Dengan definisi, “pulung” atau “wahyu” di sini berarti “isyarat bahwa Tuhan atau (kadang) leluhur memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”. Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”.
Dalam pemahaman umum orang Jawa, “pulung” juga dianggap sinonim dengan segala hal yang berbau kemuliaan, kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Jika seseorang dengan cara yang mudah tiba-tiba mendapatkan sesuatu hal yang baik dan membahagiakan, orang Jawa biasanya berujar: “Ketiban pulung” (kejatuhan berkah).
Tetapi akan berbeda maknanya jika di belakang kata “pulung” itu disematkan kata “gantung”, menjadi “pulung gantung”. Tak seorangpun di Gunungkidul yang akan bersyukur bila rumahnya “ketiban pulung gantung”. Karena hal tersebut mengakibatkan suatu yang serius. “pulung gantung” dianggap sebagai isyarat kematian.”
Bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain psikologis, biologis, sosial budaya. Sejak jaman purba, manusia telah mengenal suatu upaya untuk meniadakan dirinya sendiri (bunuh diri). Pengertian meniadakan dirinya dalam hubungannya dengan alasan melakukan tindakan tersebut adalah suatu kesadaran dari interpretasi bahwa tindakan tersebut “hendak membunuh orang lain yang berada di dalam dirinya sendiri.” Maksudnya, terpikirkan oleh kesadarannya bahwa jiwa di dalamnya merupakan pihak lain yang tidak berhubungan dengan dirinya. Alhasil, terpikirkan bahwa tindakan bunuh diri tersebut tidak berkaitan dengan tubuhnya sendiri (ada jarak antara kesadaran dengan tubuhnya sehingga pelaku bunuh diri menganggap setelah fisiknya meninggal, dirinya masih tetap ada).
Hasil wawancara dengan masyarakat
sekitar :
Narasumber : Agus adalah kepala duku, Suparno adalah guru
SD, Sariman adalah perangkat
desa.
Saya bertanya, “kenapa bisa
terjadi bunuh diri ?”
Kata mereka, “ ada tiga hal yang
utama, yaitu:
1.
Mitos,
sudah turun –menurun dan melekat dengan keyakinan. Sehingga sulit untuk dihapus
karena sudah menjadi tradisi. Mitos tersebut adalah pulung gantung yang
berwujud seperti bola api berekor berwarna kemerahan atau biru. Mitos dikaitkan
dengan bencana jika ada. Menurut pengalaman hidup, maka akan terjadi bunuh diri
seandainya orang berfikir akan itu.
2.
Mempunyai
masalah/problem, yang tidak tersalurkan misalnya karena faktor ekonomi,
depresi, putus cinta. Biasanya kalau tidak menyendiri, ketika sedang berkumpul
orang tak menyadarinya tiba-tiba menghilang dan kemudian terjadi gantung diri.
Akan tetapi jika orang yang melihat pulung gantung berfikir positif belum
tentu.
3.
Keyakinan
yang kurang terhadap tuhan.
4.
Kurangnya
pendidikan.
5. Pada era globalisasi meningkat, sehingga masyarakat menjadi termadinalkan, tertinggal karena terjadi presure, siapa yang akan menganggap mereka. Ekonomi rata-rata tertinggal karena perkembangan zaman.
Saya bertanya,” sebenarnya pulung
gantung itu apa sih?
Kata mereka, “ pulung gantung itu
berasal dari bahasa jawa, pulung
berarti wahyu yang bersifat positif dan
negatif, gantung artinya gantung diri. Jadi pulung gantung adalah wahyu yang
negatif kalau ada yang melihatnya maka akan bunuh diri tetapi masyarakat belum
pernah melihatnya sama sekali tetapi masyarakat meyakininya.”
Saya bertanya, “ apakah diantara
kalian ada yang sudah melihat pulung gantung?”
Kata mereka, “ pak suparno sudah
pernah melihat pulung gantung yang berwarna biru yang artinya keberuntungan,
kejadian itu jarang sekali terjadi, saya melihatnya sekitar jam 12 malam.
Secara pribadi itu ada tetapi ternyata menyadari itu terjadi secara mistis
sekali akan tetapi bapak telah menyadari apapun yang terjadi itu semua kuasa
tuhan. “
Saya bertanya, “ jangka waktu
terjadinya bunuh diri itu berapa ya?
Kata mereka,” jangka waktu bunuh
diri itu tidak berkala tetapi yang pasti tahunan,”
Saya bertanya, “ kejadian
terakhir itu siapa dan kenapa?”
Kata mereka, “ pak wasi dan ibu sakinah. Pak wasi karena
terdengar pisah ranjang, ia bukan merupakan penduduk sini lagi, ia tinggal di
tempat keluarganya, sedangkan istrinya di Jawa Tengah, katanya ia lagi mudik,
mayatnya ditemukan di ladang bukan di pekarangan sekitar pukul 08.00 malam
hari.”
Saya bertanya, “ tindakan apa
yang dilakukan setelah adanya kejadian bunuh diri?”
Kata mereka, “ ada penyuluhan
agar tidak mempercayai mitos itu tetapi susah karena sudah imagenya begitu.”
Hasil Analisis
Kalau
kasus bunuh diri di gunung kidul dihubungkan dengan jenis-jenis bunuh diri
menurut Emil Durkheim, maka bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat gunung
kidul itu termasuk ke dalam empat-empatnya, yaitu termasuk ke dalam jenis
egoistik, altruistik, anomik dan fatalistik.
Bunuh
diri ada hubungannya dengan sosiologi hukum karena adanya pola-pola perilaku masyarakat
yang tidak sesuai dan adanya hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan
dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial budaya.
Kesimpulan
Demikian
proposal penelitian saya buat tentang bunuh diri di Gunung Kidul, sebuah tempat yang tak berjarak jauh dari
Jogja tetapi mepunyai atmosfer yang berbeda. Satu perbedaan yang paling menarik
bagi saya setelah beberapa kali menelusuri daerah di Gunung Kidul ternyata
rata-rata dari keluarga yang berkaitan dengan bunuh diri di Gunung Kidul
mempercayai bahwa pulung gantung mempunyai peran yang besar. Pengetahuan mereka
terhadap pulung gantung telah menjadi suatu pengetahuan sehari-hari. Populasi
bunuh diri yang signifikan baik karena permasalahan yang sepele maupun tanpa
permasalahan telah dianggap menjadi suatu hal yang lumrah bagi masyarakat di
sana.
Memang pada umumnya kematian karena bunuh diri tidak memberi suatu tetanda apapun sebelumnya tetapi biasanya setelah kejadian baik keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya dapat mengetahui alasan dibalik tindakan tersebut. Sedangkan di Gunung Kidul kejadiannya berbeda. Keluarga yang ditinggalkannya kebanyakan tidak menangkap suatu alasan apapun. Pilihan yang diambil menyisakan suatu misteri tetapi faktanya pulung gantung bagi mereka selalu berada di dalam lingkaran permasalah ini.
Sisa-sisa tentang keberadaan seseorang dan kekosongan bagi yang ditinggalkannya merupakan satu hal yang tidaklah ringan bagi saya ketika harus mengungkap kejadian tersebut. Saya tangkap, bagi mereka tidak cukup sekedar suatu keiklasan ataupun ketabahan saja karena kepergian dengan cara bunuh diri juga menyisakan suatu hal yang tak kalah beratnya, menjadi pernyataan dan memori yang panjang dari masyarakat sekitar. Kata-kata ”Oh, bapak anu yang meninggal karena bunuh diri itu” telah menjadi suatu tetanda terhadap kematian seseorang, sekaligus menjadi tetanda pula bagi keluarganya, meski permakluman ataupun bala telah dicoba untuk dihilangkan dengan penguburan tanpa prosesi yang layak serta tempat-tempat yang digunakan meniadakan diri juga telah dihilangkan tetapi anak keturunan selanjutnya tetap akan memikul beban tetanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar